LAPORAN PRAKTIKUM
Kuliah Kerja Lapang (KKL) Pantai Kondang
Merak
Keanekaragaman Alga Hijau (chlorophyta)
Dosen Pengampu:
Drs.Sulisetjono, M.Si
Ainun Nikmati Laily, M.Si

Disusun Oleh:
Putro aji pramono
(13620097)
Moh. Shufyan tsauri (13620124)
Shubriyah (13620104)
Eka fitriyah (13620121)
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Sebagai suatu
negara kepulauan terbesar yang memiliki sekitar 17.508 pulau dengan panjang
pantai sekitar 81.000 km, Indonesia memiliki potensi sumber daya wilayah
pesisir dan laut yang sangat besar. Ekosistem pesisir dan laut menyediakan
sumber daya alam yang sangat produktif,baik sebagai sumber kehidupan, sumber
pangan, tambang mineral, kawasan rekreasi atau pariwisata (Bengen, 2000).Salah
satu bagian dari ekosistem tersebut dan memiliki peranan penting bagi kehidupan
beranekaragam biota laut adalah alga, yang merupakan tumbuhan thallus
(Yudasmara, 2011).
Thallophyta adalah tumbuhan yang belum memiliki daun, akar
dan batang yang jelas dan Thallophyta merupakan tumbuhan yang bertalus termasuk
diantaranya adalah golongan jamur / fungi, bakteri dan ganggang / alga. Alga
merupakan kelompok organisme yang bervariasi baik bentuk, ukuran, maupun
komposisi senyawa kimianya. Alga bereproduksi dengan aseksual dan seksual. Alga
ada yang hidup secara soliter dan berkoloni (Aslan, 1991.)
Salah
satu jenis alga adalah Chlorophyta.
Chlorophyta atau alga hijau merupakan salah satu kelompok alga terbesar
dengan keanekaragaman jenis yang tinggi. Alga hijau ditemui hidup dalam
perairan dengan berbagai ragam kondisi, mulai dari perairan tawar sam-pai
perairan laut. Bentuk hidupnya juga ber-variasi, mulai dari bentuk yang
uniseluler, berkoloni, berfilamen, berbentuk lembaran ataupun berupa tabung
(Usman, 2004).
Alga
hijau memiliki berbagai peranan penting dalam kehidupan seperti bahan
obat-obatan, sayurn, pemenuhan protein, dan sebagainya. Pentingnya peran Chlorophyta
dalam kehidupan menjadikan penting pula untuk mempelajari Chlorophyta
baik morfologi maupun siklus hidupnya. Hal tersebutlah yang menjadi latar
belakang dilakukannya penelitian tentang spesies dari divisi Chlorophyta ini.
1.2 Tujuan
Tujuan
dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
- Untuk mempelajari organisasi
thallus dan morfologi spesies dari devisi Chlorophyta di Pantai Kondang
Merak
- Untuk mempelajari siklus hidup
atau reproduksi spesies dari devisi
Chlorophyta di Pantai Kondang Merak
1.3
Manfaat
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
- Mahasiswa lebih mengenal alga
secara langsung di habitatnya
- Mahasiswa lebih bisa mengamati
morfologi dan mengeksplorasi alga langsung dari habitatnya.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. RUMPUT LAUT (ALGA)
Istilah rumput laut sudah dikenal dalam perdagangan. Istilah ini merupakan terjemahan dari kata “sea weed” (bahasa inggris). Pemberian nama terhadap alga laut bentuk ini sebenarnya kurang tepat, karena apabila ditinja secara botanis, tumbuhan ini tidak tergolong rumput (graminae), tetapi akan lebih tepat bila kita menggunalkan istilah alga laut benthik-benthik, atau alga benthik saja (Aslan, 1991).
Rumput laut yang dalam bahasa inggrisnya disebut “sea weeds” adalah alga makro yang bersifat bentik dan termasuk tanaman tidak berbunga, sehingga merupakan tanaman tingkat rendah (Thallophyta) atau sederhana (Sadhori, 1992) dan tidak dijumpai perbedaan antara akar, batang, dan daun (Aslan, 1991). Sepintas lalu banyak jenis alga yang memperlihatkan bentuk luar seperti mempunyai akar, batang, bahkan juga buah, tetapi itu adalah semu saja (Nontji, 1993).
Bentuk-bentuk tersebut sebenarnya hanyalah thallus belaka. Bentuk thallus rumput laut ada bermacam-macam, antara lain bulat seperti tabung, pipih, gepeng, bulat seperti kantong dan rambut dan sebagainya. Percabangan thallus ada yang dichotomous (bercabang dua terus menerus), pectinate (berderet searah pada salah satu thallus utama), pinnate (bercabang dua-dua pada sepanjang thallus utama secara berselang-seling), ferticillate (cabangnya berpusat melingkari aksis atau sumbu utama) dan ada juga yang sederhana, tidak bercabang. Sifat substansi thalli juga beraneka ragam, ada yang lunak seperti gelatin (gelatinous), keras diliputi atau mengandung zat kapur (calcareous), lunak seperti tulang rawan (cartilagenous), berserabut (spongious) dan sebagainya. Struktur anatomi tali untuk tiap jenis alga berbeda-beda, misalnya pada famili yang sama antara Eucheuma cottoni, potongan thallus yang melintang mempunyai susunan sel yang berbeda. Perbedaan-perbedaan ini membantu dalam pengenalan berbagai jenis alga baik dalam mengidentifikasi jenis, genus, maupun famili (Soedarto, 1990).
Alga merupakan salah satu sumberdaya alam hayati laut yang bernilai ekonomis dan memiliki peranan ekologis sebagai produsen yang tinggi dalam rantai makanan dan tempat pemijahan biota-biota laut ( Langoy, 2011). Alga yang terdapat di dasar laut banyak terdapat di sepanjang pantai, mulai dari zona pasut sampai sedalam sinar surya dapat tembus. Di perairan yang jernih beberapa jenis alga mampu hidup sampai kedalaman lebih dari 150 meter. Biasanya alga ini sedikit terdapat di perairan yang dasarnya berlumpur atau berpasir karena sangat terbatas benda keras yang cukup kokoh untuk melekat. Alga banyak ditemukan di terumbu karang, cangkang moluska, potongan kayu dsb. Adapula yang apabila terlepas dari substrat dassar dapat hidup mengambang di permukaan karena mempunyai gelembung-gelembung gas sebagai pelampung seperti Sargassum sp (Nontji, 1993).
Sebagian besar alga laut berwarna indah dan ada pula yang bercahaya. Pigmen-pigmen dari kromatofor (chromatophore) menyerap sinar matahari untuk fotosintesis. Atas dasar warna yang dimiliki oleh alga laut, yang berbeda antara satu kelompok dan kelompok yang lain, maka pembagian kelas dari divisi Thallophyta yang artinya tumbuh-tumbuhan berthallus ini mengikuti warna yang dimiliki. (Romimuhtarto, 1999).
Alga yang berukuran besar tergolong dalam tiga kelas yaitu Chloropyceae (alga hijau), Phaeophyceae (alga coklat) dan Rhodophyceae (alga merah). Tiap kelas ini mempunyai kandungan pigmen yang berbeda. Kebanyakan alga yang mempunyai nilai ekonomis berasal dari ketiga kelas ini (Nontji, 1993).
Sebagian
besar alga laut berwarna indah dan ada yang bercahaya. Pigmen-pigmen dari
kromatophor menyerap sinar matahari untuk fotosintesis. Alga yang berukuran
besar tergolong dalam tiga kelas yaitu Chloropyceae (alga hijau), Phaeophyceae
(alga coklat) dan Rhodophyceae (alga merah). Tiap kelas ini mempunyai kandungan
pigmen yang berbeda. Kebanyakan alga yang mempunyai nilai ekonomis berasal dari
ketiga kelas ini (Nontji, 1993).
2.2 Alga Hijau (Chlorophyta)
Alga ini berwarna hijau karena tidak mempunyai zat warna (pigmen) lain, kecuali hanya klorofil yang berwarna hijau sebagai satu-satunya cel warna yang ada (Sadhori, 1992). Ganggang hijau pada umumnya hidup sebagai plankton baik pada air tawar, dan di darat di tempat-tempat yang basah. Ada juga yang tumbuh di atas daun yang hidup seperti halnya jenis Cephaleuros virecens yang hidup menumpang (parasit) pada daun beberapa macam pohon dan semak ( Sadhori, 1992 ). Pada daun the sering dikenal “red rust” yang sangat merugikan tanaman teh tersebut. Jenis yang tersebar yang hidup di laut dikenal sebaga (Ulva lactuca) jenis tersebut biasanya dapat dimakan sebagai sayuran (Sadhori, 1992).
Perbedaan dengan divisi
lainnya karena memiliki warna hijau yang jelas seperti pada tumbuhan tingkat
tinggi karena mengandung pigmen klorofil a dan b lebih dominan dibandingkan
karotin dan xantofil. Alga hijau sebagian besar hidup di air tawar, beberapa
diantaranya di air laut dan payau. Alga hijau yang hidup di air laut tumbuh
disepanjang perairan dangkal. Pada umumnya melekat pada batuan dan seringkali
muncul apabila air laut surut (Sulisetijono, 2009).
Di Indonesia terdapat sekitar
12 marga alga hijau atau rumput laut hijau (Chlorophiceae). Sekitar 14
jenis teah dimanfaatkan, baik sebagai bahan konsumsi maupun untuk obat. Alga
hijau ditemukan hingga pada kedalaman 10 meter atau lebih di daerah yang
terdapat penyinaran yang cukup. Jenis-jenis dari rumput laut ini tumbuh melekat
pada substrat, seperti batu, batu karang mati, cangkang moluska, dan ada pula
yang tumbuh di atas pasir (Ghufran, 2010).
Sesuai dengn namanya, kelompok
alga ini berwarna hijau. Beberapa alga hijau, terutama dari marga Halimeda mnghasilkan kerak kapur (CaCO3) dan
menjadi salah satu penyumbang endapan kapur di laut. Jenis Halimeda tuna tersendiri
dari rantai bercabang dari potongan tipis berbentuk kipas. Potongan-potongan
ini berkapur, garis tengahnya msing-masing 2 cm. yang terbesar dihubungkan satu
dan lainnya oleh sendi-sendi tak berkapur (Ghufran, 2010).
Kelas Chlorophyceae dapat
melakukan perkembangbiakan secara seksual dan aseksual. Cara berkembangbiak
secara seksual, mula-mula suatu sel dari tumbuh-tumbuhan yang pipih dan
berlapis dua membentuk sel kelamin yang disebut gamet berbulu getar dua.
Setelah gamet ini lepas ke dalam ir, mereka ersatu berpasangan dan melalui
pembelhan sel berkembang menjadi tumbuh-tumbuhan bau yang dikenal sebagai
sporofit (sporophyte), tetapi melalui fase benang dulu. Secara aseksual,
setiap sel biasa dari tumbuh-tumbuhan sporofit dapat membentuk zoospore berbuu
getar empat. Zoospore ini setelah dilepas tumbuh langsung menjadi gametofit,
yakni tumbuh-tumbuhan yang menghasilkan gamet. Prosesnya dikenal sebagai
pergantian generasi dan terkait dengan ini adalah perbahan sitologi yang
penting. Perkembangbiakan secara aseksual dapat pula terjadi dengan fragmentasi
yang membentuk tumbuh-tumbuhan tak melekat (Ghufran, 2010).
Menurut Dahuri (2003), ada lima parameter lingkungan utama bagi ekosistem rumput laut:
1.
Intensitas cahaya, berpengaruh terhadap produksi spora dan pertumbuhan
rumput laut.
2.
Musin dan temperature, musim dan temperatur mempunyai keterkaitan yang erat
dan keduanya sangat mempengaruhi kehidupan rumput laut. Pertumbuhan akan
terhambat bila temperature rendah dan intensitas cahaya tinggi.
3.
Salinitas, yaitu kadar garam yang
tingginya 30-35% dapat menyebabkan kemandulan bagi Gracillaria verucosa.
Pertumbuhan maksimum Gracillaria yang berasal atlantik dan pasifik timur
terjadi pada salinitas 15-30%, dengan titik optimumnya 25%.
4.
Gerakan, kekuatan gerakan air berpengaruh pada pelekatan spora pada
substratnya. Karakteristik spora dari alga yang tumbuh pada daerah berombk dan
berarus kuat umumnya cepat tenggelam dan memiliki kemampuan menempel dengan cepat
dan kuat umumnya cepat tenggelam dan memiliki kemampuan menempel dengan cepat
dan kuat. Sementara itu, alga yang tumbuh di daerah tenang memiliki
karakteristik spora yang mengandung lapisan lender dan memiliki ukuran serta
bentuk yang lebih besar. Gerakan air tersebu juga sangat berperan dalam
mempertahankan sirkulasi zat hara yang berguna untuk pertumbuhan.
5.
Zat hara, kandungan nutrient utama
yang diperlukan alga seperti nitrogen dan fsfat sangat berpengaruh terhadap
reproduksinya.
BAB
III
METODE
PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada
hari Sabtu-Minggu tanggal 11-12 Oktober 2014 bertempat di pantai Kondang Merak
desa Sumberbering kecamatan Bantur kabupaten Malang.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Alat-alat yang
digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Kamera 1
buah
2. Kertas 1
buah
3. Pensil 1
buah
4. Penghapus 1 buah
5. Penggaris 1 buah
3.2.2 Bahan
Bahan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah makroalga divisi Chlorophyta yang ada di
pantai Kondang Merak.
3.3 Cara Kerja
Adapun
langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah:
1. Disiapkan alat-alat yang dibutuhkan.
2. Dicari spesies alga yang masuk ke dalam
divisi Chlorophyta di kawasan pantai Kondang Merak yang telah ditentukan.
3. Diukur dengan penggaris dan difoto dengan
kamera.
4. Diidentifikasi ciri-cirinya dan
diklasifikasikan jenis spesiesnya.
BAB IV
HASIL DAN
PEMBAHASAN
4.1 Codium edule
4.1.1 Hasil
Gambar
pengamatan
|
Gambar
Literatur
|
||
![]() |
![]() |
Klasifikasi
Kingdom : Plantae
Divisio :
Chlorophyta
Classis :
Chlorophyceae
Ordo :
Bryopsidae
Familia : Codiaceae
Genus : Codium
Spesies : Codium edule
4.1.2 Pembahasan
Hasil pengamatan alga menunjukkan bahwa ditemukan alga berwarna
hijau pekat, panjangnya sekitar 19 cm dan lebarnya 12 cm. Bentuk talusnya
seperti jari, pipih, dan bercabang. Percabangannya bercabang dua (dichotomus).
Dibagian percabangan tampak terjadi pembesaran, dan berumpun. Ciri-ciri
tersebut menunjukkan bahwa spesies yang ditemukan adalah makroalga berdivisi Chlorophyta
spesies Codium edule. Masih belum bias dibedakan antara blade dan stipe
karena merupakan tumbuhan thallus. Menurut literatur (Sadhori, 1992) warna hijau terlihat sebab mengandung zat warna klorofil.
Menurut literature yang lain juga (Sulisetijono, 2009) disebutkan bahwa
klorofil a dan b yang dimiliki alga hijau lebih dominan dibanding xantofil dan
karoten.
Codium
edule ditemukan pada sore hari dengan air
surut di pantai Kondang Merak pada batu-batu atau karang, spesies ini menancap
di karang tersebut. Spesies ini bia ditemukan di tempat tersebut karena dalam
literatur (Sulisetijono, 2009) memang disebutkan bahwa alga hijau yang hidup di
laut kebanyakan melekt pada batuan dan seringkali muncul saat air surut dan
dangal. Berada di tempat dangkal sebab spesies ini membutuhkan cahaya untuk
melakukan fotosintesis. Spesies ini merupakan produsen di lautan dan mampu
menghasilkn O2 bagi makhluk laut lainnya sebab memiliki klorofil
yang merupakan bahan fotosintesis.
Codium edule masuk dalam kelas Chlorophyceae.
Kelas ini dalam literatur (Ghufran, 2010) disebutkan reproduksinya melakukan secara seksual
dan aseksual. Cara berkembangbiak secara seksual, mula-mula suatu sel dari
tumbuh-tumbuhan yang pipih dan berlapis dua membentuk sel kelamin yang disebut
gamet berbulu getar dua. Setelah gamet ini lepas ke dalam ir, mereka ersatu
berpasangan dan melalui pembelhan sel berkembang menjadi tumbuh-tumbuhan bau
yang dikenal sebagai sporofit (sporophyte), tetapi melalui fase benang
dulu. Secara aseksual, setiap sel biasa dari tumbuh-tumbuhan sporofit dapat
membentuk zoospore berbuu getar empat. Zoospore ini setelah dilepas tumbuh
langsung menjadi gametofit, yakni tumbuh-tumbuhan yang menghasilkan gamet.
Prosesnya dikenal sebagai pergantian generasi dan terkait dengan ini adalah
perbahan sitologi yang penting. Perkembangbiakan secara aseksual dapat pula terjadi
dengan fragmentasi yang membentuk tumbuh-tumbuhan tak melekat.
4.2 Halimeda micronesica
4.2.1 Hasil
Gambar
pengamatan
|
Gambar
Literatur
|
||
![]() |
![]() |
Klasifikasi
Kingdom : Plantae
Divisio :
Chlorophyta
Classis : Chlorophyceae
Ordo : Caulerpales
Familia : Udoteaceae
Genus : Halimeda
Spesies : Halimeda
micronesica
4.2.2
Pembahasan
Hasil pengamatan alga menunjukkan
bahwa ditemukan alga berwarna hijau kurang pekat dan kekuningan. Panjangnya 7
cm dan lebarnya 10 cm. Bentuk talusnya seperti kipas, dan rantai bercabang.
Terdapat potongan tipis pula yang seperti kipas. Spesies ini masih tidak bisa
dibedakan antara blade dan stipenya.
Holdfastnya cakram dan menempel di batuan berpasir sebab saat dicabut,
holdfastnya ditempeli oleh pasir-pasir. Bila dipegang, potongan tipis tersebut
terasa keras. Dalam literatur (Ghufran,
2010), disebutkan bahwa bagian tersebut keras sebab mengandung CaCO3 dan mnjadi salah satu penyumbang endapan kapur di laut. Di antara
potongan-potongan terdapat penghubung yag tidak keras, sehingga bentuknya
seperti rantai bercabang. Bila pada genus Halimeda lain seperti Halimeda
macroloba potongan-potongan yang mirip blade tersebut terlihat lebih besar
dan bentuknya teratur. Namun, pada Halimeda micronesica ini
potongan-potongannya bentuknya lebih kecil dan tidak teratur.
Dalam suatu literature (Valeri J
Paul dan William Fenical, 1983) disebutkan bahwa Halimeda memiliki
kemampuan untuk menghasilkan zat bioktif untuk antifouling. Zat aktif yang
dihasilkan untuk biofouling tersebut dikenal
sebagai halimedatrial dan halimeda tetra
asetat. Halimedatrial adalah diterpenoid yang belum pernah terjadi
trialdehyde, dikenal sebagai metabolite sekunder yang utama dalam
enam jenis ganggang yang mengandung zat kapur Halimeda.
Halimedatrial mememiliki sifat toksik dan beracun ke arah batu karang,
ikan, dan
mempunyai cytotoxic dan antimicrobial. Halimedatrial yang
disekresikan keluar dapat menghadirkan suatu proses metabolisme tertentu yang
menjadi sistem pertahanan pada berbagai jenis ganggang laut terhadap musuh
alaminya.
Halimeda
micronesica masuk dalam
kelas Chlorophyceae. Kelas ini dalam literatur (Ghufran, 2010) disebutkan
reproduksinya melakukan secara seksual dan aseksual. Cara
berkembangbiak secara seksual, mula-mula suatu sel dari tumbuh-tumbuhan yang
pipih dan berlapis dua membentuk sel kelamin yang disebut gamet berbulu getar
dua. Setelah gamet ini lepas ke dalam ir, mereka bersatu berpasangan dan
melalui pembelahan sel berkembang menjadi tumbuh-tumbuhan bau yang dikenal
sebagai sporofit (sporophyte), tetapi melalui fase benang dulu. Secara
aseksual, setiap sel biasa dari tumbuh-tumbuhan sporofit dapat membentuk
zoospore berbuu getar empat. Zoospore ini setelah dilepas tumbuh langsung
menjadi gametofit, yakni tumbuh-tumbuhan yang menghasilkan gamet. Prosesnya
dikenal sebagai pergantian generasi dan terkait dengan ini adalah perbahan
sitologi yang penting. Perkembangbiakan secara aseksual dapat pula terjadi
dengan fragmentasi yang membentuk tumbuh-tumbuhan tak melekat.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan penelitian berdasarkan tujuan yang ada
adalah sebagai berikut:
1. Codium edule berwarna hijau pekat, panjangnya sekitar 19 cm dan lebarnya 12 cm.
Bentuk talusnya seperti jari, pipih, dan bercabang. Percabangannya bercabang
dua (dichotomus). Dibagian percabangan tampak terjadi pembesaran, dan berumpun..
Masih belum bias dibedakan antara blade dan stipe karena merupakan tumbuhan
thallus.
Halimeda micronesica berwarna
hijau kurang pekat dan kekuningan. Panjangnya 7 cm dan lebarnya 10 cm. Bentuk
talusnya seperti kipas, dan rantai bercabang. Terdapat potongan tipis pula yang
seperti kipas. Spesies ini masih tidak bisa dibedakan antara blade dan
stipenya. Holdfastnya cakram dan
menempel di batuan berpasir sebab saat dicabut, holdfastnya ditempeli oleh
pasir-pasir. Bila dipegang, potongan tipis tersebut terasa keras. potongan-potongannya
bentuknya lebih kecil dan tidak teratur.
2.
Reproduksi
Codium edule dan Halimeda micronesica hampir sama, yakni vegetative
dengan fragmentasi dan membelah diri, aseksual dengan spora (zoospore) dan
seksual dengan isogami, anisogami, dan oogami.
5.2 Saran
Penelitian kali ini dirasa kurang
mendapat dampingan, sehingga diharapkan untuk periode selanjutnya lebih diperbanyak
jumlah pendamping.
DAFTAR
PUSTAKA
Aslan, Laode. M. 1991. Budidaya Rumput Laut.
Kanisius.Yogyakarta: viva pakarindo.
Dahuri, Rokhimin. 2003. Keanekargaman Hayati Laut.Jakarta : PT.
Gramedia Pustaka.
Ghufran, M. 2010. A to Z Budi Daya Biota Akuatik untuk Pangan,
Kosmtik, dan Obat-obatan. Yogyakarta: Andi.
Langoy,
Marnix L.D, dkk. 2011. Deskripsi Alga
Makro Di Taman Wisata Alam Batuputih, Kota Bitung. Jurnal Ilmiah Sains. Vol.
11, No.2, Hal. 219-224.
Nontji. 1993. Laut Nusantara. Djambatan.Jakarta:
Erlangga.
Nybakken. 1992.
Biologi laut: suatu pendekatan ekologis.Jakarta: Erlangga.
Pelczar,Jr.Michael J. 2008. Dasar-Dasar
Mikrobiologi. Jakarta: UI Press
Rohmimotarto, Juwana. 1999. Biologi
laut. PPP Ose-LIPI . Jakarta : Erlangga.
Soediarto. 1990.Budidaya Rumput Laut . Jakarta:
Djambatan.
Sulisetijono. 2009. Bahan Pengantar Alga.
Malang: UIN Press.
Supriharyono. 2000. Pengelolaan ekosistem terumbu Karang. Jakarta : Erlangga.
Yudasmara, Gede
Ari. 2011. Analisis Komunitas Makroalga Di Perairan Pulau Menjangan Kawasan
Taman Nasional Bali Barat. Jurnal Sains dan Teknologi. Vol. 11, No. 1,
Hal. 90-99.